Penundaan Kunjungan dan Harga Diri Bangsa
19.10
, Posted in
News or Features
,
0 Comments
Pada hari Selasa 5 Oktober 2010, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memutuskan untuk menunda kunjungan resmi kenegaraan ke Belanda. Keputusan itu diambil pada detik-detik terakhir sesaat sebelum pesawat take off.
Keputusan penundaan ini dilakukan karena sebuah pengadilan di Den Haag, Belanda, sedang melakukan sidang kilat atas gugatan dari pimpinan kelompok Republik Maluku Selatan (RMS), John Wattilete. John Wattilete menuntut pemerintah Belanda untuk menangkap Presiden SBY atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Maluku berupa pemenjaraan terhadap 93 aktivis RMS. Data itu berdasarkan laporan dari Amnesty International dan Human Rights Watch.
Keputusan Presiden SBY untuk membatalkan kunjungan ke negeri kincir angin tersebut segera menuai kontroversi. Sejumlah pihak menilai bahwa penundaan kunjungan resmi kenegaraan Presiden SBY ke Belanda dapat menjadi preseden buruk di masa mendatang sekaligus menurunkan kredibilitas Indonesia di dunia internasional. Namun, benarkah demikian? Bagaimana semestinya kita memahami keputusan pembatalan tersebut secara proporsional?
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa kunjungan Presiden SBY ke Belanda sarat dengan nilai historis. Pemerintah Belanda terakhir kali menerima kunjungan resmi kenegaraan pemerintah Indonesia pada tanggal 3 September 1970. Dalam lawatan ke Belanda kali ini, Presiden SBY sedianya dijadwalkan untuk mengesahkan perjanjian kemitraan komprehensif antara Indonesia dan Belanda. Perjanjian kemitraan komprehensif itu memiliki nilai strategis tersendiri bagi Indonesia sekaligus memperkuat mekanisme kerjasama kedua negara di berbagai bidang.
Di samping itu, perjanjian kemitraan komprehensif itu juga memuat pengakuan secara tertulis pemerintah Belanda atas kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Dokumen tertulis itu memiliki arti penting karena merepresentasikan adanya pengakuan secara moral dan politik dari pemerintah Belanda atas penerimaan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Dengan adanya pengakuan secara de facto dan de jure, maka diharapkan tidak akan ada lagi distorsi sejarah maupun keragu-raguan dari kedua belah pihak.
Sikap Ambivalensi
Dalam konteks itu, perkembangan pengadilan di Den Haag, Belanda, atas tuntutan RMS terhadap pemerintah Belanda untuk melakukan penangkapan terhadap Presiden SBY dapat dilihat sebagai sebuah bentuk ambivalensi sikap pemerintah Belanda perihal pengakuan kemerdekaan Indonesia. Di satu sisi, pemerintah Belanda mengundang Indonesia untuk melakukan penandatanganan perjanjian kemitraan komprehensif yang memuat pengakuan tertulis terhadap kemerdekaan Indonesia. Akan tetapi, di sisi lain, pemerintah Belanda tetap memproses tuntutan RMS untuk melakukan penangkapan terhadap Presiden SBY.
Sejarah mencatat dengan tinta tebal eksistensi RMS sebagai kelompok pemberontak yang didirikan pada tanggal 25 April 1950 oleh para mantan prajurit Koninklijke Nederlands Indische Leger (KNIL) dan pro-Belanda dengan tujuan untuk memisahkan diri dari Indonesia. Namun, pemerintah Indonesia atas komando Soekarno selaku presiden ketika itu memutuskan untuk menumpas RMS pada November 1950. Kekuatan RMS pun tercerai berai hingga kemudian terhitung sejak 1966 RMS berfungsi sebagai pemerintahan pengasingan di Belanda. Kuat dugaan bahwa hingga saat ini RMS masih dipelihara oleh pemerintah Belanda guna menggerogoti kedaulatan bangsa Indonesia secara perlahan-lahan. Kesediaan pemerintah Belanda untuk tetap memproses tuntutan RMS di pengadilan di Den Haag, Belanda, seakan kian menguatkan dugaan tersebut.
Dalam konteks itu, sangat tepat langkah Presiden SBY untuk membatalkan kunjungan kenegaraan ke Belanda. Pemerintah Belanda harus menyelesaikan RMS secara tuntas terlebih dahulu guna memperjelas sikap mereka sebagai sebuah negara mantan penjajah terhadap kemerdekaan Indonesia. Di samping itu, penundaan kunjungan tersebut juga penting guna memberikan shock therapy bagi pemerintah Belanda agar di kemudian hari peristiwa serupa tidak terulang kembali.
Karena itu, langkah Presiden SBY untuk membatalkan kunjungan kenegaraan ke Belanda harus dilihat sebagai sebentuk sikap penegasan harga diri bangsa, bukan karena alasan keamanan dan keselamatan presiden. Selain adanya jaminan dari Menteri Kehakiman Belanda Hirsh Balin terhadap keamanan dan keselamatan presiden, hukum internasional pun memberikan hak impunitas kepada Presiden SBY selaku kepala negara yang sedang melakukan kunjungan resmi kenegaraan. Pada titik ini penilaian sejumlah pihak bahwa penundaan kunjungan tersebut sebagai bentuk upaya “penyelamatan diri” SBY tidak menemukan relevansinya.
Dalam kaitan itu, sangat tepat pula pernyataan Duta Besar Indonesia untuk Belanda JE Habibie saat diwawancarai oleh Radio Nederland bahwa meskipun Presiden Indonesia tidak akan ditangkap karena memiliki hak impunitas sebagai kepala negara yang diundang pemerintah Belanda, tetapi vonis pengadilan akan menimbulkan gangguan secara psikologis. Semestinya, pemerintah Belanda melakukan langkah-langkah pencegahan sehingga ketidaknyamanan psikologis itu dapat dihindari.
Akhirnya, sungguh sangat naif dan patut disayangkan penilaian sempit dari sejumlah pihak bahwa pembatalan kunjungan resmi kenegaraan ke Belanda merupakan bentuk “penyelamatan diri” dari se- orang SBY.
Bawono Kumoro
Penulis adalah peneliti Politik The Habibie Center
0 Response to "Penundaan Kunjungan dan Harga Diri Bangsa"
Posting Komentar