• Imagen 1 Listing Bumi Resources Mineral
    Pencatatan saham perdana (Initial Public Offering/IPO) anak usaha anak usaha PT Bumi Resources Tbk (BUMI), PT Bumi Resources Mineral (BRM)

Finally, nation talks about national hero nomination for Soeharto

 By Fardah

Jakarta (ANTARA News) - Prayers to observe the 1000 days of the demise of former President Soeharto will be organized in five different places on October 22, 2010.

By accident, Soeharto has been frequently mentioned in the media following a proposal on rewarding the national hero status to ten people including Soeharto.

Since his death on January 27, 2008, there have been rarely any news proposing him to receive national hero tittle, as the nation is quite divided in seeing Soeharto.

Some look at him a hero, as no doubt he had fought for the nation during the colonialism era, and he had been successful in developing the country during his about 30-year administration. But some others accuse him as a corrupter, or at least putting blind eyes on corruption cases involving his relatives, especially his children.

Responding to controversy on the Seoharto nomination, Social Affairs Minister Salim Segaf Al-Jufri said proposals to award the national hero title to certain people had not come from the government but from the people.

"The proposals do not come from the government but from the grass roots. Every citizen has the right to propose somebody for official recognition as a national hero," the minister said here Monday.

He said his ministry had already selected 10 names from among many more proposed by the people for recognition as national hero, and submitted them to the Council of Titles, Decorations and Orders of Merit.

The ten names are Ali Sadikin (former Jakarta Governor, from West Java), Habib Sayid Al Jufrie (from Central Sulawesi), HM Soeharto (former president, from Central Java), Abdurrahman Wahid (from East Java), Andi Depu (from West Sulawesi), Johanes Leimena (from Maluku), Abraham Dimara (from Papua), Andi Makkasau (from South Sulawesi), Pakubuwono X (from Central Java), and Sanusi (from West Java).

On the controversy regarding Soeharto, the minister said in the present democratic era, it was normal for people to have different opinions about something.

To be considered for the national hero title, the person nominated by anybody must meet certain criteria set forth in Law No. 20/2009 on the awarding of special distinctions by the state.

Among the criteria were that he or she is an Indonesian national, has struggled against colonialism, or for education and political purposes in the territory now called Indonesia. Besides, they must also be morally untainted and never have been jailed, and to have always fought in the interest of the Indonesian Republic.

Another requirement was they must be proposed by the people, districts, and governors. At gubernatorial level, there was a team called regional title study and research.

The proposed persons must first be studied, researched and seen whether they have met the requirements. Then seminars should be organized about them, and later their names should be submitted to the social affairs ministry.

After being discussed for about four months, the selected ones will be submitted to the Council of Titles, Decorations and Order of Merit chaired by the coordinating minister for political, legal and security affairs.

"It`s quite a long process, not one or two days, and it has to start from the bottom level, so let us just wait for the results," the minister said.

Cabinet Secretary Dipo Alam also confirmed that the former president was proposed by the people, not by the government, to be given a national hero title.

The Team will later present its verification results to President Susilo Bambang Yudhoyono . "Later, it is the President who will decide who deserve the national hero titles," Dipo Alam said.

The National Alliance of Patriotic Volunteer Soehartoist for the Republic of Indonesia Development (ASPPPRI) has expressed its support for naming Soeharto as a national hero.

"We support the effort to name the late Great General HM Soeharto as as national hero, for his contributions as `The Father of Indonesian Development` who has been acknowledged by the history and the people," ASPPPRI Coordinator Jantje Worotitjan said here recently.

ASPPPRI has organized discussions and dialogs in Jakarta and other cities on proposing Soeharto to receive national hero status.

"Every one has agreed that Mr Harto deserves the honorary title of national hero. He has significantly contributed to making  Indonesia one of the `Asian tigers`," Jantje Worotitjan said.

He claimed that ASPPPRI had receives letters of support from Java, Sumatra, and Sulawesi as well as Papua to make Soeharto a national hero.

Former Nahdlatul Ulama (NU) Chief Hasyim Muzadi said former president Soeharto deserves to be given the national hero title by the state.

"Soeharto deserves to be awarded the national hero title," Hasyim, currently secretary general of the International Conference of Islamic Scholars (ICIS), said here Monday.
He made the statement to comment on the inclusion of Soeharto as one of 10 prominent figures proposed by the people to as national heroes.

"Soeharto deserves to be named a national hero although he was not free of mistakes. Every era has its outstanding figure, and every such figure was meritorious in a particular era," he said.

Soeharto`s services to the nation could not be judged based on the values or norms prevailing in Indonesia today, he said.

"Soeharto came to power in a revolutionary situation. Without Soeharto, Indonesia could have become a communist country, been deprived of its state ideology Pancasila, its 1945 Constitution and of religion," he stated.

At the time, Indonesian Communist Party (PKI) revolutionary councils had been set up everywhere, from Jakarta to rural areas, and they were poised to take over power as soon as their rebellion had succeeded, Hasyim said.

In the first 15 years of Soeharto`s administration, Indonesia was successful in developing its economy, but the second 15 year period, corruption was rampant in the country, he said.

"It was because there was hardly any control on the power of the military and the bureaucracy," he said.

He said Indonesia needed to conduct a drive for national reconciliation to free itself of a legacy of revenge-seeking tendencies.

Hutomo Mandala Putra (known as Tommy), the youngest son of Soeharto, said in Karanganyar, Central Java, recently that his family would not ask the government for the hero title for his father.

"The awarding of the national hero status to former president Soeharto is just a matter of time, given his extraordinary services to the nation. Every one knows that," Hutomo Mandala Putra said.(f001/A/HAJM/F001)

DPRD DKI: 3 Tahun Fauzi Bowo Tidak Ada Yang Signifikan


TEMPO Interaktif, Jakarta -Dewan Perwakilan Rakyat Daerah angkat bicara mengenai 3 tahun Pemerintahan Gubernur Fauzi Bowo di DKI Jakarta terhitung tahun 2007 hingga 2010. Sebagian dari mereka mengatakan Fauzi telah berhasil dalam perencanaan, namun saat eksekusi kebijakan Fauzi masih terlihat kendur.

“Terlalu banyak rencana dan program tapi saat implementasinya masih kurang,” kata Johnny Simanjuntak anggota komisi Kesejahteraan dari Fraksi PDIP, hari ini.

Johnny menambahkan, rakyat kecil tidak mengerti tentang perencanaan berbagai kebijakan tersebut. Rakyat, Johnny menambahkan, ingin merasakan kemudahan yang sesungguhnya dalam pembangunan yang terkait dengan kesejahteraan dan managemen lalu lintas.

“Rakyat selalu mengingat semboyan kampanye yang dielukan Fauzi yaitu serahkan pada ahlinya. Maka dari itu Gubernur harus memiliki keberanian untuk membuat trobosan selanjutnya. Selain itu hubungan dengan Pemerinta Pusat juga harus dipererat sehingga Pemerintah Pusat dapat memberikan dukungan dalam berbagai kebijakan Pemprov DKI,” tutur Johnny.

Seperti yang telah diberitakan sebelumnya beberapa program besar yang menjadi andalan Fauzi Bowo dalam mengatasi kemacetan dan banjir yang menjadi momok masalah penyelesaiannya masih terkendala oleh Pemerintah Pusat.
Electronic Road Pricing yaitu pembatasan mobil dengan sistem berbayar contohnya sebagai solusi atasi kemacetan, saat ini masih terkendala payung hukum dari Kemenkeu dan Kemenhub padahal telah mendapat dukungan dari Wakil Presiden Boediono. Dan program utama mengatasi banjir adalah pengerukkan 11 sungai, 3 waduk dan 1 kanal masih juga terkendala Peraturan Pemerintah Pusat.

“Solusi utama banjirnya itu pengerukkan sungai dengan Bank Dunia. Karena kalau dikeruk hanya sebagian-sebagian saja hasinlnya percuma. Pasti sedimennya akan terbawa dari hulu,” kata Fauzi Bowo.

Sementara itu Wakil DPRD dari fraksi PPP Lulung Lunggana mengatakan penataan dari program-program pembenahan masalah di DKI Jakarta belum tertata. Sehingga beberapa program yang sebenarnya paling dibutuhkan masyarakat seperti penambahan koridor TransJakarta masih terkendala proses tender bis.
“Dalam penanganan banjir, harusnya yang dilakukan Pemprov adalah bekerja sama dengan Pemda Bogor yang merupakan bagian hulu. Seperti dengan menyarankan warga Bogor membuat sumur resapan sehingga air yang turun ke Jakarta tidak terlalu banyak,” kata Lulung.

Sedangkan Anggota komisi Pembangunan dari fraksi Golkar Priya Ramdhani mengatakan tidak ada tindakan pembangunan signifikan yang dilakukan oleh Fauzi Bowo dalam 3 tahun ini.
Program yang dibanggakan oleh Asisten Pembangunan dan Lingkungan Hidup Tauchid Cakra terkait Kanal Banjir Timur dan Busway, menurut Priya, adalah warisan dari pemerintahan sebelumnya.

“Saat ini Pemprov tidak lagi bisa tawar menawar. Mereka harus mengejar program-program signifikan dalam tahun pemerintahan yang tersisa,” tutur Priya.


RENNY FITRIA SARI

Penundaan Kunjungan dan Harga Diri Bangsa

Pada hari Selasa 5 Oktober 2010, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memutuskan untuk menunda kunjungan resmi kenegaraan ke Belanda. Keputusan itu diambil pada detik-detik terakhir sesaat sebelum pesawat take off.

Keputusan penundaan ini dilakukan karena sebuah pengadilan di Den Haag, Belanda, sedang melakukan sidang kilat atas gugatan dari pimpinan kelompok Republik Maluku Selatan (RMS), John Wattilete. John Wattilete menuntut pemerintah Belanda untuk menangkap Presiden SBY atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Maluku berupa pemenjaraan terhadap 93 aktivis RMS. Data itu berdasarkan laporan dari Amnesty International dan Human Rights Watch.

Keputusan Presiden SBY untuk membatalkan kunjungan ke negeri kincir angin tersebut segera menuai kontroversi. Sejumlah pihak menilai bahwa penundaan kunjungan resmi kenegaraan Presiden SBY ke Belanda dapat menjadi preseden buruk di masa mendatang sekaligus menurunkan kredibilitas Indonesia di dunia internasional. Namun, benarkah demikian? Bagaimana semestinya kita memahami keputusan pembatalan tersebut secara proporsional?

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa kunjungan Presiden SBY ke Belanda sarat dengan nilai historis. Pemerintah Belanda terakhir kali menerima kunjungan resmi kenegaraan pemerintah Indonesia pada tanggal 3 September 1970. Dalam lawatan ke Belanda kali ini, Presiden SBY sedianya dijadwalkan untuk mengesahkan perjanjian kemitraan komprehensif antara Indonesia dan Belanda. Perjanjian kemitraan komprehensif itu memiliki nilai strategis tersendiri bagi Indonesia sekaligus memperkuat mekanisme kerjasama kedua negara di berbagai bidang.

Di samping itu, perjanjian kemitraan komprehensif itu juga memuat pengakuan secara tertulis pemerintah Belanda atas kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Dokumen tertulis itu memiliki arti penting karena merepresentasikan adanya pengakuan secara moral dan politik dari pemerintah Belanda atas penerimaan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Dengan adanya pengakuan secara de facto dan de jure, maka diharapkan tidak akan ada lagi distorsi sejarah maupun keragu-raguan dari kedua belah pihak.

Sikap Ambivalensi
Dalam konteks itu, perkembangan pengadilan di Den Haag, Belanda, atas tuntutan RMS terhadap pemerintah Belanda untuk melakukan penangkapan terhadap Presiden SBY dapat dilihat sebagai sebuah bentuk ambivalensi sikap pemerintah Belanda perihal pengakuan kemerdekaan Indonesia. Di satu sisi, pemerintah Belanda mengundang Indonesia untuk melakukan penandatanganan perjanjian kemitraan komprehensif yang memuat pengakuan tertulis terhadap kemerdekaan Indonesia. Akan tetapi, di sisi lain, pemerintah Belanda tetap memproses tuntutan RMS untuk melakukan penangkapan terhadap Presiden SBY.

Sejarah mencatat dengan tinta tebal eksistensi RMS sebagai kelompok pemberontak yang didirikan pada tanggal 25 April 1950 oleh para mantan prajurit Koninklijke Nederlands Indische Leger (KNIL) dan pro-Belanda dengan tujuan untuk memisahkan diri dari Indonesia. Namun, pemerintah Indonesia atas komando Soekarno selaku presiden ketika itu memutuskan untuk menumpas RMS pada November 1950. Kekuatan RMS pun tercerai berai hingga kemudian terhitung sejak 1966 RMS berfungsi sebagai pemerintahan pengasingan di Belanda. Kuat dugaan bahwa hingga saat ini RMS masih dipelihara oleh pemerintah Belanda guna menggerogoti kedaulatan bangsa Indonesia secara perlahan-lahan. Kesediaan pemerintah Belanda untuk tetap memproses tuntutan RMS di pengadilan di Den Haag, Belanda, seakan kian menguatkan dugaan tersebut.

Dalam konteks itu, sangat tepat langkah Presiden SBY untuk membatalkan kunjungan kenegaraan ke Belanda. Pemerintah Belanda harus menyelesaikan RMS secara tuntas terlebih dahulu guna memperjelas sikap mereka sebagai sebuah negara mantan penjajah terhadap kemerdekaan Indonesia. Di samping itu, penundaan kunjungan tersebut juga penting guna memberikan shock therapy bagi pemerintah Belanda agar di kemudian hari peristiwa serupa tidak terulang kembali.

Karena itu, langkah Presiden SBY untuk membatalkan kunjungan kenegaraan ke Belanda harus dilihat sebagai sebentuk sikap penegasan harga diri bangsa, bukan karena alasan keamanan dan keselamatan presiden. Selain adanya jaminan dari Menteri Kehakiman Belanda Hirsh Balin terhadap keamanan dan keselamatan presiden, hukum internasional pun memberikan hak impunitas kepada Presiden SBY selaku kepala negara yang sedang melakukan kunjungan resmi kenegaraan. Pada titik ini penilaian sejumlah pihak bahwa penundaan kunjungan tersebut sebagai bentuk upaya “penyelamatan diri” SBY tidak menemukan relevansinya.

Dalam kaitan itu, sangat tepat pula pernyataan Duta Besar Indonesia untuk Belanda JE Habibie saat diwawancarai oleh Radio Nederland bahwa meskipun Presiden Indonesia tidak akan ditangkap karena memiliki hak impunitas sebagai kepala negara yang diundang pemerintah Belanda, tetapi vonis pengadilan akan menimbulkan gangguan secara psikologis. Semestinya, pemerintah Belanda melakukan langkah-langkah pencegahan sehingga ketidaknyamanan psikologis itu dapat dihindari.
Akhirnya, sungguh sangat naif dan patut disayangkan penilaian sempit dari sejumlah pihak bahwa pembatalan kunjungan resmi kenegaraan ke Belanda merupakan bentuk “penyelamatan diri” dari se- orang SBY.

Bawono Kumoro
Penulis adalah peneliti Politik The Habibie Center

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme