KPPU: Pfizer & Dexa langgar UU No. 5/1999
JAKARTA: Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan kelompok usaha Pfizer dan PT Dexa Medica melakukan pelanggaran UU No.5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, terkait dengan perkara kartel obat antihipertensi.
Dalam putusan yang dibacakan majelis komisi Ahmad Ramadhan Siregar, Tadjuddin Noer Said, dan Erwin Syahrir, kemarin, PT Pfizer Indonesia, Pfizer Inc, Pfizer Overseas LLC, Pfizer Global Trading, dan Pfizer Corporation Panama, berturut-turut sebagai terlapor I, III, IV, V, dan VI, dinyatakan terbukti melanggar Pasal 5, 11, 16, dan 25 Ayat 1 Huruf a, sedangkan PT Dexa Medica (terlapor II) dinyatakan terbukti melanggar Pasal 5, 11, dan 16.
Pasal 5 mengatur mengenai larangan bagi pelaku usaha untuk melakukan penetapan harga, Pasal 11 mengenai kartel, Pasal 16 mengenai larangan bagi pelaku usaha untuk membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang menimbulkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan tidak sehat, serta Pasal 25 Ayat 1 mengenai penyalahgunaan posisi dominan.
Karena terbukti melakukan pelanggaran pasal-pasal tersebut, keenam terlapor dijatuhi hukuman denda, yakni PT Pfizer Indonesia, Pfizer Inc, Pfizer Overseas LLC, Pfizer Global Trading, dan Pfizer Corporation Panama, masing-masing dijatuhi denda Rp25 miliar, dan PT Dexa Medica sebesar Rp20 miliar.
Selain itu, majelis komisi dalam putusannya juga membatalkan beberapa pasal dalam Supply Agreement antara terlapor III dan II, satu pasal dalam Pfizer Distribution Agreement antara terlapor I dan PT Anugrah Argon Medika.
Majelis komisi, di bagian lainnya juga memerintahkan PT Pfizer Indonesia untuk menurunkan harga obat Norvask sebesar 65% dari HNA (harga neto apotik) hingga putusan berkekuatan hukum tetap, dan PT Dexa Medica untuk menurunkan harga obat Tensivask 60% dari HNA hingga putusan berkekuatan hukum tetap.
Di samping itu, kedua perusahaan farmasi tersebut juga diperintahkan untuk tidak melibatkan dokter dalam program Health Care Compliance Program (HCCP), serta menurunkan biaya promosi hingga 60%.
Ganggu investasi
Public Affairs and Communication Director PT Pfizer Indonesia, Chrisma A. Albandjar, menyayangkan keputusan KPPU itu karena tidak memberikan kepastian hukum di Indonesia dan mengganggu iklim investasi.
"KPPU sama sekali tidak memperhatikan dan menimbang bahan-bahan yang sudah kami berikan dan pendapat saksi-saksi selama pemeriksaaan berlangsung yang semuanya membuktikan bahwa Pfizer Indonesia sama sekali tidak melanggar UU Persaingan Usaha," katanya.
PT Pfizer Indonesia, menurutnya, menolak putusan itu karena KPPU dinilai tidak mempertimbangkan data, dokumen, bukti dan pendapat saksi ahli yang disampaikan pihaknya pada saat proses pemeriksaan perkara.
KPPU, menurutnya, tidak mempertimbangkan bukti-bukti penting yang jelas menunjukkan bahwa PT Dexa Medica merupakan pesaing bagi PT Pfizer Indonesia dan kedua perusahaan tidak pernah membuat perjanjian baik lisan maupun tertulis untuk mengatur penetapan harga atau produksi.
Selain itu, lanjutnya, PT Pfizer Indonesia tidak pernah membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang melanggar peraturan dan perundangan di Indonesia termasuk menimbulkan persaingan usaha tidak sehat.
KPPU, menurutnya, salah menginterpretasi pasar bersangkutan dalam perkara ini dan tidak mengindahkan pendapat para saksi ahli dan lembaga ini berpendapat hanya ada satu pengobatan terapetik yang tersedia, padahal ada ratusan produk di pasar yang terbukti dapat mengobati kondisi medis yang sama.
"Kegagalan dalam menafsirkan regulasi maupun pasar yang bersangkutan menyebabkan KPPU pada kesimpulan yang salah terkait dengan dominasi pasar. PT Pfizer Indonesia tidak mempunyai posisi dominan di pasar obat antihipertensi," jelasnya.
Di lain pihak, kuasa hukum PT Dexa Medica, HMBC Rikrik Rizkiyana, merasa kecewa dengan putusan majelis komisi KPPU yang dinilai tidak mempertimbangkan data dan bukti yang disampaikan oleh pihaknya pada waktu pemeriksaan perkara.
"Putusannya zalim. Nampaknya dalam hal ini majelis komisi tidak bekerja dengan baik karena hasil analisisnya sama dengan pemeriksaan lanjutan. Ada yang tidak dijadikan konsideran oleh majelis komisi," ujar Rikrik, seusai sidang pembacaan putusan, kemarin.
Di bagian lain, Rikrik menyebutkan banyak perbandingan yang tidak apple to apple dalam pertimbangan putusan KPPU. Contohnya, menurutnya, tidak sama pergeseran harga Norvask dan Tensivask, serta perbandingan antara international pricing dengan harga yang ditetapkan perusahaan itu.
"Pasti kita akan mengajukan keberatan," katanya. (elvani@bisnis.co.id)
Oleh Elvani Harifaningsih
Bisnis Indonesia